PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA DALAM RANGKA MENJAMIN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Main Article Content

Ulil Abshor Nurul Huda
Ahmad Sholikhin Ruslie

Abstract

Melihat  perkembangan tindak pidana korupsi, secara kumulatif hal ini merupakan suatu hal yang berlebihan dikarenakan korupsi di Indonesia bukanlah kejahatan biasa (ordinary crime) akan tetapi kejahatan yang sangat luar biasa (ektra-ordinary crime). Salah satu problematika yang dihadapi dalam menuntaskan korupsi melalui penyelesaians ecara yuridis ialah dengan adanya proses pembuktian yang dinilai kompleks dalam peradilan. Dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi terdapat fenomena pembuktian terbalik (Ombering van Bewisjlast) yang merupakan konsep pembuktian oleh terdakwa yang aktif dalam menyakinkan ketidakbersalahan dirinya. Dengan demikian tidak diatur secara khusus mekanisme yang jelas , hal itu dapat memuculkan sudut pandang dan interpretasi yang beda bagi para penegak hukum. Jenis penelitian yang dipakai ialah Yuridis Normatif yakni menitikberatkan dan membatasi kegiatannya pada kepustkaan dengan menjadikan pendekatan konsep, Perundang undnagan dan perbandingan sebagai dasar atas penelitian. Bahwa Mekanisme Penyelenggaraan Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana  Korupsi Di Indonesia telah jelas termaktub dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 3/1971, UU 31/1999 jo UU 20/2001 maupun UU 7/2006) dalam penyelenggaraannya pembuktian terbalik adalah kewajiban tersangka/terdakwa khususnya dalam konteks asal-usul harta kekayaan dari tersangka/terdakwa serta berkenaan dengan tindakannya. Efektifitas mekanisme pembuktian terbalik sangat urgent di Indonesia guna memberantas tindak pidana korupsi, sistem pembuktian terbalik dapat mencegah lolosnya pelaku korupsi dikarenakan tidak dapat dibuktikannya harta kekayaan terdakwa akan berimbs pada ancaman hukuman dalam kesempatan yang dianggap mengikat oleh hakim pengadilan harus membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Bahwa Problematika Pembuktian Terbalik Tindak pidana korupsi masih terjadi hingga saat ini dengan intensitas yang semakin tinggi baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian, Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai alat pemberantasan tindak pidana korupsi belum efektif. Selain itu, sistem pembuktian terbalik terbatas pada kejahatan  yang terkait dengan korupsi. Untuk itu pembuktian terbalik tidak dapat atau secara efektif digunakan untuk memberantas korupsi. Jadi harus menggunakan memakai pembuktian negatif atau asas “beyond reasonable doubt”.

Downloads

Download data is not yet available.

Article Details

How to Cite
Nurul Huda, U. A., & Ruslie, A. S. . (2023). PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA DALAM RANGKA MENJAMIN ASAS KEPASTIAN HUKUM. Journal Evidence Of Law, 2(2), 63–72. https://doi.org/10.59066/jel.v2i2.279
Section
Articles