Pertanggung Jawaban Pidana Anggota TNI Pelaku Perkawinan Kedua Tanpa Izin Istri Pertama (Studi Putusan MA Nomor 157 K/MIL/2010)
Main Article Content
Abstract
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin manusia dalam membentuk keluarga yang bahagia. Menurut perspektif hukum positif, perkawinan dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat material dan formal. Oleh karenanya sangatlah menarik dan penting untuk mengkaji lebih lanjut mengenai apakah pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pidana anggota TNI pelaku perkawinan kedua tanpa izin istri pertama? dan bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota TNI pelaku perkawinan kedua tanpa izin istri pertama? Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual. Data yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tertier dikumpulkan yang kemudian dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa perkawinan di bawah tangan memenuhi syarat-syarat materil perkawinan, tetapi tidak memenuhi syarat formil. Hal ini berimplikasi pada tidak diakuinya perkawinan menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, sehingga perkawinan di bawah tangan tidak tergolong makna perkawinan menurut ketentuan Pasal 279 KUHP. Putusan MA Nomor 157 K/MIL/2010 telah benar, unsur mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya menjadi penghalang yang sah untuk itu terpenuhi karena perkawinan di bawah tangan yang dilakukan oleh terdakwa termasuk pengertian perkawinan yang dimaksud Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP. Ankum memberikan 2 pilihan cara penyelesaian, yaitu mencabut laporan dari pihak korban dan tersangka akan dikenakan pelanggaran Disiplin Militer atau pihak korban tetap ingin melanjutkan laporan sehingga akan diproses menuju tahap selanjutnya dan akan dikenakan pelanggaran Tindak Pidana Militer.